PANDANGAN XANANA GUSMAO TENTANG KEADILAN

Sebagai seorang pendekar rekonsiliasi dan Presiden Timor Leste yang dinanti-nanti, pendapat Xanana Gusmao tentang keadilan dan rekonsiliasi sangat penting. Pandangannya tentang isu yang amat sensitif ini cukup rumit (sehingga terbuka untuk disalahpahami), dan masih dalam perkembangan. Tulisan ini membahas kembali seluruh pernyataannya kepada publik yang dilalukan sampai saat ini, dan mencoba mensistematisasinya sehingga posisinya dapat dipahami, waktu tidak secara pasti/definitif.

‘Saya tidak memungkiri pentingnya keadilan. Seringkali orang-orang berkata, kalau anda tidak menghukum mereka anda akan mendorong partai politik untuk melakukannya, karena setiap orang tahu bahwa tidak ada keadilan. Saya, pribadi, tidak percaya hal ini… Tidak ada seorangpun di dunia yang berani mengatakan kepada Mandela “ Komisi kebenaran dan rekonsiliasi anda tidak bisa diterima”, semua orang justeru menyambutnya baik… Bagi kami, sepertinya ada tuntutan [hukuman oleh dunia internasional]. Bagaimana mungkin kita dapat bermimpi menjadi model keadilan di dunia. Persoalan saya ialah andaikata anda mengadili dengan segera, satu atau dua orang milisi,, yang lainnya tidak akan datang…Saya sedang memikirkan tentang sebuah proses rekonsiliasi disini yang dapat menghindari terjadinya instabilitas di masa depan dan yang dapat diterima oleh semua orang. Saya tidak dapat mengatakan bahwa tidak akan ada keadilan, tetapi dalam prosesnya mungkin bisa menjadi seperti di Afrika Selatan’ (The Age,18/12/00).

 

Prinsip-prinsip

Pendekatan Gusmao tentang isu keadilan terhadap kejahatan masa lalu sangat kompleks, penuh nuansa dan ambigus. Akan tetapi dia masih konsisten menekankan pada prinsip-prinsip berikut ini:

·        Prioritas untuk Timor Loro Sae adalah perdamaian dan stabilitas, dan kuncinya ialah rekonsiliasi. Kunci untuk mencapai rekonsiliasi ialah memajukan kesejahteraan sosial-ekonomi, yang akan memungkinkan orang-orang untuk memaafkan kesalahan masa lalu. “Keadilan” dapat diasumsikan sebagai suatu alat untk mencapai rekonsiliasi, bukan sebagai sebab / bukan keadilan untuk keadilan.

‘Perdamaian di Timor loro Sae tidak akan datang hanya dengan cara melakukan investigasi dan hukuman atas kesalahan. Perdamaian ialah bagaimana mengimplementasi keadilan sosial bagi seluruh warga masyarakat tanpa memandang apakah mereka itu menjatuhkan pilihan pro atau kontra kemerdekaan.’ (Disampaikan kepada Universitas Yale, 2/4/01)

·        Keadilan dapat dikonsepkan bukan hanya sebagai suatu proses hukum dalam arti sempit, melainkan sebagai “keadilan sosial”- membangun  suatu masyarakat yang “adil” dengan terciptanya jaminan  sosial-ekonomi yang kuat. Keadilan sosial harus menjadi prioritas untuk Timor Loro Sae.

‘Kita harus menemukan keseimbangan antara hak-hak sosial dan hak akan keadilan yang hanya didefinisikan dalam pengertian formalnya hukum, pengadilan, pemeriksaan pengadilan, hukuman dan penjara. Jika kita hanya mendefinisikan keadilan dalam rumusan formalnya saja, maka kita akan melupakan hal- hal yang lebih penting bagi kehidupan orang banyak.’ (Orasi tentang HAM pada pidato pengukuhan di EOC, Victoria, 10/01)

 

·        Keadilan harus terkait erat dengan tuntutan untuk membangun hubungan baik dengan Indonesia dan masalah keamanan di wilayah perbatasan serta masalah repatriasi pengungsi dengan Timor Barat.

·        Kemampuan Timor Loro Sae untuk melakukan keadilan melalui prosedur hukum normal sangat terbatas.  Antara lain harus dipertimbangkan biayanya, sebab masih ada prioritas pembangunan lainnya;

‘Orang-orang ini akan diajukan ke pengadilan, mereka akan dipenjara. Siapa yang akan menanggung biaya hidup mereka selama di penjara? Uang yang anda bayarkan untuk pajak bukannya akan dipakai untuk para guru dan jururawat, malah dipakai untuk para tahanan. Anda setuju? Apa yang harus kita diskusikan ialah bahwa seandainya kita mau memperbaiki bangunan-bangunan, mereka yang membakarnya yang akan melakukannya.’ (Time Asia,3/9/10).

·    Ke adilan restoratif lebih efektif dari pada keadilan retributif. Keadilan harus memandang ke depan dan menjangkau kedua belah pihak baik korban maupun Pelaku.

·    'Kejahatan politik’ yang dilakukan selama perjuangan kemerdekaan tidak dapat dikategorikan- atau dihukum-seperti halnya kejahatan biasa. Penderitaan yang dialami karena kejahatan seperti itu harus dipandang sebagai suatu ‘pengorbanan’ dan tidak bisa diproses melalui keadilan retributif (kejahatan biasa), melainkan dengan membuktikan bahwa pengorban yang dilakukan itu tidak sia-sia.Caranya ialah memberikan sesuatu yang berguna kepada orang-orang yang pantas mendapatkannya.

 

‘Kita harus mampu membuktikan bahwa kemerdekaan berarti sesuatu yang baru, sesuatu yang baik bagi orang untuk memahami apa arti sebuah pengorbanan.’ (ABC Radio Nasional 19/11/00)

 

Rekonsiliasi

Gusmao menekankan pada empat tingkatan rekonsiliasi:

Rekonsiliasi politik/elit:  Gusmao telah mendorong diadakannya rekonsiliasi antar para elit politik jauh sebelum jajak pendapat tahun 1999, termasuk melalui pertemuan bulan Juni 1999 yang disebut Dare II dan rekonsiliasi lainnya atas inisiatif CNRT. Gusmao memandang rekonsiliasi politik sebagai suatu proses panjang untuk membangun saling percaya antara berbagai faksi. Dia sangat jauh terlibat dalam upaya mempromosikan dialog dengan pihak pro-otonomi, termasuk melalui serangkaian pertemuan dengan UNTAS sejak Desember 1999.

 

Rekonsiliasi di dalam Komunitas:  Gusmao sangat mendukung proses rekonsiliasi di dalam komunitas, apabila milisi telah kembali ke dalam komunitas masing-masing, meminta maaf dan membayar atas kesalahannya dengan membantu para korban dan keluarga mereka (merehab rumah-rumah). Gusmao sudah berkeliling ke seluruh Timor Loro Sae dengan maksud mengajak masyarakat agar dapat memaafkan para milisi dan memahami perbuatan mereka dalam kaitan dengan puluhan tahun pelanggaran dan manipulasi social.

 

Penyembuhan nasional melalui pengungkapan kebenaran:  Gusmao sudah menegaskan tentang kebutuhan akan penyembuhan pada tingkat nasional melalui pengunkapan kebenaran sebagai cara untuk ‘mewujudkan suatu masyarakat yang kuat, bersatu-padu dan penuh belas-kasih’ (Pidato EOCV,10/01).

 

Rekonsiliasi dengan Indonesia:  Gusmao memandang keadilan dalam konteks komitemennya untuk membangun hubung dengan Indonesia (ABC 10/10/01). Dia telah membela pemberian maaf atas segala kejahatan yang dilakukan Indonesia di Timor Loro Sae.

 

Tuntutan kriminal

Gusmao telah menekankan bahwa dia mendukung pertanggung-jawaban atas kejahatan masa lalu dan  tidak secara tegas menentang upaya mengadakan tuntutan kriminal sebagai sarana penegakan keadilan. Akan tetapi dia tidak secara nyata mempromosikannya,dan telah mempertanyakan manfaat prosedur hukum formal atas dasar bahwa:

·        Sangat terbatas manfaatnya dalam mempromosikan perdamaian dan rekonsiliasi di dalam masyarakat setelah terjadinya konflik (SMH 18/12/00, ABC 10/10/01) dan meningkatkan resiko ‘pengadilan oleh pihak pemenang’ (Pidato EOCV 10/01).

·        Mereka akan menghalangi pemulangan para milisi di Timor Barat, upaya repatriasi dan akan terus  mendorong dilakukannya penahanan di wilayah perbatasan (SMH 18/12/00, UNTAET 2/7/01).

·        Setiap proses pengadilan terhadap orang Timor Loro Sae tanpa melibatkan para Jenderal TNI, yang merupakan pelaku dari pada 95%  kejahatan, akan menjadi cacat. (Wawancara ABC10/10/01).

·        Timor Loro Sae tidak memiliki kemampuan untuk melakukan tuntutan kriminal dan penahanan. (Wawancara Time Asia 3/9/01, ABC 10/10/01)

 

Milisi

Xanana mempunyai keyakinan bahwa kalau tidak ada rekonsiliasi maka para milisi akan terus berusaha untuk mengganggu keamanan di Timor Loro Sae. Dia sudah berlayar menuju ke proses rekonsiliasi dengan para milisi beraliran moderat dan berusaha meyakinkan mereka agar bersedia menghadapi pengadilan setelah mereka pulang. (Reuters 14/9/01,UNTAET 22/9/01). Dia menyatakan kepada para milisi bahwa mereka tidak akan langsung dipenjara, dan mengisyaratkan kemungkinan pemberian ‘pardon’ (setelah putusan pengadilan) dari Pemerintah Timor Loro Sae (UNTAET 22/9/01). Gusmao mendukung proses rekonsiliasi dalam komunitas karena dapat melibatkan kelompok milisi bawahan/suruhan:

‘Kepada para anggota milisi saya merekomendasikan bahwa hukuman tidak berarti hanya membawa ke pengadilan, mungkin ada jalan lainnya untuk mengadili mereka misalnya melakukan bakti social kepada komunitas masing-masing dll.,karena mereka diperintah untuk melakukan suatu kesalahan seperti anda tahu, oleh karena itu saya tidak mungkin dapat menghukum seorang bawahan yang diperintah untuk membunuh. Tentu cara bagaimana ia melakukan pembunuhan akan dipertim bangkan, akan tetapi siapa yang paling bertanggung-jawab adalah komandannya atau para elit politik atau para Jenederal Indonesia’ (ABC Wawancara Radio Nasional 19/11/00).

 

Amnesti

Gusmao berpendapat bahwa ‘amnesti’ adalah satu-satunya jalan yang paling realistis dalam kaitan dengan para komandan milisi dan TNI/KOPASSUS. Pada tahun 1999 sebelum jajak pendapat dan sesudah gelombang kekerasan bulan September, Gusmao mendeklarasikan suatu ‘amnesti umum untuk semua kejahatan politik’ (Pernyataan yang dibuat oleh Gusmao,26/8/99). Menanggapi tekanan UNTAET dan komunitas internasional, Gusmao nampaknya mulai bersikap lebih lunak dalam menyikapi kemungkinan pemberian  ‘amnesti setelah pengadilan’. Dia menyatakan kepada (de Mello) di bulan Juli bahwa dia mendukung prinsip ‘tidak ada amnesti sebelum pengadilan, amnesti sesudah pengadilan, dan kemudian amnesti kepada mereka yang telah diproseskan karena kasus perorangan’ (pertemuan dengan para pejabat UNTAET,2/7/01). Dalam sebuah wawancara dengan Time Asia (3/9/10) dia berkata

‘Amnesti dapat dipertimbangkan, akan tetapi hanya setelah pengadilan,setelah proses peradilan.  Bukan sebelumnya.’

Gusmao tidak menjelaskan apa yang dimaksudnya dengan ‘amnesti’ dan masih berlaku ambigus tentang apa yang dimaksud dengan keadilan. Dia menyarankan agar Parlemen Timor Loro Sae memberikan ‘pardon, kemungkinan pada tanggal kemerdekaan.

 

Pengadilan Internasional

Gusmao tidak secara aktif menentang diadakannya suatu Pengadilan Internasional, tetapi dia sudah menjelaskan bahwa dia percaya tidak akan menjadi prioritas untuk Timor Loro Sae mengingat masih banyak beban lainnya. Dia berargumentasi bahwa Pengadilan Internasional adalah tanggung-jawab masyarakat internasional dan kalau diadakan maka tidak dapat dilakukan di Timor Loro Sae atau mengadili orang Timor Loro Sae. Dia menegaskan bahwa dia sangat mempertimbangkan dampaknya terhadap hubungan Timor Loro Sae dengan Indonesia, termasuk keamanan di sepanjang perbatasan.

‘Kita tidak hanya memikirkan soal Pengadilan Internsional karena masih banyak hal lainnya yang harus dilakukan.’  (Suara Timor Loro Sae,29/3/01).

 

Proses pengadilan kriminal Indonesia

Gusmao menyatakan dukungan untuk menekan Indonesia agar mempercepat diadakannya tribunal ad hoc. Dia mengatakan bahwa para jenderal Indonesia harus bertanggung-jawab atas kejahatan (pertemuan dengan para pejabat UNTAET 2/7/01). Gusmao skeptis terhadap hal ini dan menyatakan keprihatinannya  bahwa, seperti halnya dengan pengadilan yang dilakukan di Timor Loro Sae atau pengadilan internasional, proses pengadilan di Indonesia pun dapat membahayakan upaya-upaya rekonsiliasi.

 

Pengadilan bagi Falintil/Fretilin

Gusmao sudah menyatakan bahwa dia akan siap diadili sebagai panglima tertinggi Fretilin, sekalipun dia cenderung menjawab isu yang terkait dengan kejahatan yang dilakukan Fretilin/Falintil dengan membela bahwa mereka telah meminta maaf(berarti berlawanan dengan berhadapan dengan pengadilan) untuk kejahatan pada masa lalu.

‘Saya bersedia (meminta maaf atas kesalahan masa lalu) karena saya adalah panglima tertinggi.Terkadang saya berfikir harus ada pengadilan. Jika saya harus pergi ke Pengadilan, saya siap pergi’. (Wawancara dengan Time Asia,3/9/01).

 

Ditulis oleh Carolyn Bull, Kantor Interim, Komisi bagi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi di Timor Lorosae, Nopember 2001.  Terjemahan: Jose Estevao Soares.

Home Background Mandate News Documents Funding Commissioners Glossary Search

Copyright © 2001 Commission for Reception, Truth and Reconciliation in East Timor